Home

Kamis, 06 Oktober 2016

Fatwa DSN-MUI Tentang Giro Syariah


Fatwa DSN-MUI Giro Syariah  : Donlowad
  1. Pengertian Giro Syariah
Giro adalah suatu istilah perbankan untuk suatu cara pembayaran yang hampir merupakan kebalikan dari sistem cek, berupa surat perintah untuk memindahbukukan sejumlah uang dari rekening seseorang kepada rekening lain yang ditunjuk surat tersebut. Suatu cek diberikan kepada pihak penerima pembayaran (payee) yang menyimpannya di bank mereka, sedangkan giro diberikan oleh pihak pembayar (payer) ke banknya, yang selanjutnya akan mentransfer dana kepada bank pihak penerima, langsung ke akun mereka.
Perbedaan tersebut termasuk jenis perbedaan sistem 'dorong dan tarik' (push and pull). Suatu cek adalah transaksi 'tarik': menunjukkan cek akan menyebabkan bank penerima pembayaran mencari dana ke bank sang pembayar yang jika tersedia akan menarik uang tersebut. Jika tidak tersedia, cek akan "terpental" dan dikembalikan dengan pesan bahwa dana tak mencukupi. Sebaliknya, giro adalah transaksi 'dorong': pembayar memerintahkan banknya untuk mengambil dana dari akun yang ada dan mengirimkannya ke bank penerima pembayaran sehingga penerima pembayaran dapat mengambil uang tersebut. Karenanya, suatu giro tidak dapat "terpental", karena bank hanya akan memproses perintah jika pihak pembayar memiliki daya yang cukup untuk melakukan pembayaran tersebut. Namun ini juga berarti pihak pembayar tidak mendapatkan keuntungan dari "float".
Yang dimaksud dengan giro syariah adalah produk penghimpunan dana yang dikeluarkan oleh perbankan yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan syariah adalah giro berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
2.      Prinsip-prinsip Giro Syariah
Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan prinsip mudharabah. Dalam produk rekening giro, dibedakan menjadi dua, yaitu giro berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.

a.      Prinsip wadiah
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dari akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip.  Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah adalah titipan atau simpanan.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip mengkehendaki. Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
Prinsip wadiah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamanah berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah dhamanah, pihak bank selaku pemegang titipan boleh menggunakan uang atau barang yang dititipi dan bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan. Sedangkan wadiah amanah, pihak bank selaku pemegang titipan tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipi. Karena wadiah yang diterapkan dalam produk giro perbankan adalah wadiah yad dhamanah, maka implikasinya sama dengan hukum qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana dan Bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
b.      Prinsip mudharabah
Prinsip mudharabah diaplikasikan pada produk tabungan, deposito dan giro. Pada tema ini kita hanya membahas tentang prinsip mudharabah pada giro. Yang dimaksud dengan giro mudharabah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Seperti yang telah kita tahu bahwa mudharabah mempunyai dua bentuk, yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah, yang perbedaan utama di antara keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana dalam mengelola hartanya, baik dari sisi tempat, waktu, maupun objek investasinya. Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib, sedangkan nasabah bertindak sebagai sebagai shahibul maal.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank syariah akan membagihasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement, bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.

3.      Tujuan/manfaat giro
Bagi bank:
·         Sumber pendanaan bank baik dalam rupiah maupun valuta asing
·         Salah satu sumber pendapatan dalam bentuk jasa (fee based income) dari aktifitas lanjutan pemanfaatan rekening giro oleh nasabah.
Bagi nasabah:
·         Memperlancar aktivitas pembayaran dan penerimaan dana
·         Dapat memperoleh bonus dan bagi hasil
4.      Landasan Hukum Giro Wadiah Dalam Praktik Perbankan Syariah
1.      Surat An-Nisa` : 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, …..”
2.      Surat Al Baqarah : 283 :
“…………. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.

Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu :
a.      Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
b.   Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan.  Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
Landasan hukum berupa Fatwa dan Peraturan Otoritas terkatit :
a.       Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
b.      PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) beserta ketentuan perubahannya.
c.       PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya.
d.      PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah beserta ketentuan perubahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar