Home

Sabtu, 24 September 2016

Masyarakat dan Ekonomi (konsumerisme dan modal sosial)



A.       KONSUMERISME dan BUDAYA KONSUMEN
1.    Definisi
Konsumerisme  awalnya  dari  kata  konsumtivisme  yang  menurut Featherstone  , Mike  ( 2007  )  adalah  faham untuk hidup konsumtif. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kesenangan, kebahagian, gaya hidup yang tidak hemat dan juga di artikan sebagai gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjaul, dan pengiklan.
2.      Sejarah
Beberapa disiplin ilmu telah menganalisa konsumerisme dan masyarakat konsumen. Topik ini bahkan menjadi fokus perhatian dalam studi sosiaologi sejak tahun 1980an. Terdapat perdebatan yang luas menyangkut munculnya masyarakat konsumen.
Beberapa ilmuwan menyebut beberapa poin tertentu yang berkaitan dengan munculnya kapitalisme modern seiring dengan revolusi industri. Asal mula konsumerisme dikaitkan dengan proses industrialisasi pada awal abad ke-19. Karl Marx menganalisa buruh dan kondisi-kondisi material dari proses produksi. Menurutnya, kesadaran manusia ditentukan oleh kepemilikan alat-alat produksi. Prioritas ditentukan oleh produksi sehingga aspek lain dalam hubungan antar manusia dengan kesadaran, kebudayaan dan politik dikatakan dikonstruksikan oleh relasi ekonomi.
Kapitalisme yang dikemukakan Marx adalah suatu cara produksi yang dipremiskan oleh kepemilikan  pribadi sarana produksi. Kapitalisme bertujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dan dia melakukannya dengan mengisap nilai surplus dari pekerja. Tujuan kapitalisme adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya, terutama dengan mengeksploitasi pekerja. Realisasi nilai surplus dalam bentuk uang diperoleh dengan menjual produk sebagai komoditas.
Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana objek, kualitas dan tanda berubah menjadi komoditas.
Kapitalisme adalah suatu sistem dinamis dimana mekanisme yang didorong oleh laba mengarah pada revolusi yang terus berlanjut atas sarana produksi dan pembentukan pasar baru. Ada indikasi ekspansi besar-besaran dalam kapasitas produksi kaum kapitalis. Pembagian kelas yang mendasar dalam kapitalisme adalah antara mereka yang menguasai sarana produksi, yaitu kelas borjuis, dengan mereka yang karena menjadi kelas proletar tanpa menguasai hak milik, harus menjual tenaga untuk bertahan hidup.
Horkheimer dan Adorno mengemukakan bahwa logika komoditas dan perwujudan rasionalitas instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam lingkup konsumsi. Pencarian waktu bersenang-senang, seni dan budaya tersalur melalui industri budaya. Resepsi tentang realitas diarahkan oleh nilai tukar (exchange value) karena nilai budaya yang mengalahkan logika proses produksi dan rasionalitas pasar. Selain itu juga terjadi standarisasi produk-produk budaya untuk memaksimalkan konsumsi.
3.      Konsumerisme tentunya memiliki pengaruh positif dan negatif.

         Pengaruh positif yang dapat dikemukakan adalah:

1. Konsumerisme dapat meningkatkan dinamika dalam masyarakat. Dinamika dalam masyarakat dibutuhkan dalam upaya menuju perkembangan masyarakat. Memang tidak selamanya dinamika mengarah kepada hal yang positif (perkembangan), tetapi masyarakat yang dinamis menyimpan potensi semangat untuk melakukan perubahan.

2. Konsumerisme didukung dengan berbagai kemudahan yang ditunjukkan. Salah satunya adalah barang-barang yang serba unik, baru dan melimpah. Harga pasar yang terjangkau dan persaingan yang ketat. Dalam level praktis, konsumerisme selalu didukung dengan kemudahan pasar. Inilah yang mengakibatkan banyak kalangan melakukannya, bahkan, meskipun tidak menyadarinya.

Selain sisi positif yang tentunya dicari dengan kepayahan, beberapa sisi negatif dengan mudah dapat ditemukan:

1. Konsumerisme menuntun masyarakat pada alienasi atau proses pengasingan dari diri dan keinginannya (bahkan rasionalitasnya). Masyarakat dijadikan proyek produksi yang diiming-imingi sesuatu dan diarahkan pada sesuatu. Masyarakat dibentuk dan dapat kehilangan kesadarannya (consiousness-nya). Ini dapat terlihat dalam pola budaya masa. Juga pencitraan melalui media massa.

2. Konsumerisme dapat melanggengkan ketidakadilan. Proses produksi dapat dengan mudah menindas kaum yang kecil dan keadilan tidak seimbang. Meskipun budaya massa dapat berarti menyeragaman, tetapi dilihat dari keseimbangan pendapatan dan kekayaan maka akan nampak semakin tidak seimbang. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan terbodohi

3.  Konsumerisme meningkatkan konsumsi dan membahayakan keseimbangan alam. Dengan pola produksi dan konsumsi yang berlebihan, beban bumi dalam menyeimbangkan alam menjadi semakin berat. Mari kita lihat limbah produksi, limbah hasil produksi disertai ketidakmauan berpikir untuk melakukan daur ulang. Hal ini dapat membahayakan bumi.

4.  Konsumerisme dapat meningkatkan kriminalitas. Hal ini disebabkan karena meningkatnya keinginan dan kebutuhan, tanpa diimbangi dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Meskipun ini adalah sisi negatif tidak langsung, tetapi hal ini harus diwaspadai.
4.      Budaya Konsumen
Budaya mengacu pada seperangkat nilai, gagasan, artefak dan simbol yang mempunyai makna, yang membantu individu berkomunikasi, memberikan tafsiran serta melakukan evaluasi. Budaya tidak hanya bersifat naluriah saja, namun budaya memberikan dampak pada perilaku yang dapat diterima didalam masyarakat.
Tiga perspektif utama budaya konsumen diungkapkan oleh Featherstone (2005). Pertama, pandangan bahwa budaya konsumen dipremiskan dengan ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Hal ini mengakinatkan tumbuhnya kepentingan aktivitas bersenag-senang dan konsumsi dalam masyarakat Barat Kontemporer. Kedua, pandangan yang lebih sosiologis, bahwa kepuasan berasal dari benda-benda berhubungan dengan akses benda-benda yang terstruktur secara sosial dalam suatu peristiwa yang telah ditentukan di dalamnya kepusan dan status tergantung pada penunjukan dan pemeliharaan perbedaan dalam kondisi inflsi. Ketiga, masalah kesenagan emosional untuk konsumsi, mimpi-mimpi dan keinginan yang ditampakkan dalam bentuk tamsil budaya konsumen dan tempat-tempat konsumsi tertentu yang secara beragam memunculkan kenikmatan jasmaniah langsung serta kesenagan estetis.
Semakin tumbuh suburnya budaya konsumen dan tidak sekedar memandang konsumsi sebagai sesuatu yang berasal dari produksi tanpa mengakibatkan adanya probelamatika (Featherstone, 2005), namun lebih jauh dari itu budaya konsumen juga mempengaruhi perilaku seseorang untuk memutuskan pembelian produk suatu barang, yang tentunya dikendalikan oleh kekuatan media massa, seprti iklan.Periklanan secara khusus mampu megeksploitasi kondisi ini dan memberikan imge-image percintaan, eksotika, nafsu, kecantikan, pemenuhan kebutuhan, komunalitas, serta kehidupan yang baik untuk menyebarkan benda-benda konsumen seprti sabun dan lainnya (Featherstone, 2005). Budaya konsumen akan mendorong orang untuk
Berkaitan dengan perilaku konsumen dapat dikarakteristikan beberapa ciri kelas sosial seperti yang diungkapkan Sukmana (2005) :
1.      Kelas sosial atas (memiliki kecendrungan membeli barang-barang yang mahal, barang-barang yang dibeli cendrung untuk dapat menjadi warisan bagi keluarganya)
2.      Kelas sosial golongan menegah (cendrung membeli barang untuk menampakkan kekayaan, membeli barang dengan jumlah yang banyak dan kualitasnya cukup memadai.
3.      Kelas sosial golongan rendah (cendrung membeli barang dengan mementingkan kuantitas dari pada kualitasnya. Pada umunya mereka membeli barang untuk kebutuhan sehari-hari, memanfaatkan penjualan barang-barang yang diobral atau penjualan dengan harga promosi.
5.      Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Konsumen
            Produk dan jasa memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi budaya, karena produk mampu membawa pesan makna budaya. Makna budaya akan dipindahkan ke produk dan jasa, dan produk kemudian dipindahkan ke konsumen dalam bentuk pemilikan produk (possession ritual), pertukaran (exchange ritual), pemakaian (grooming ritual), dan pembuangan (divestment ritual).
                  1. Budaya Populer
Mowen dan Minor (1998) mengartikan budaya populer sebagai budaya masyarakat banyak yang mudah dipahami dan tidak memerlukan pengetahuan khusus.
a. Iklan
b. Televisi
c. Musik
d. Radio
e. Pakaian danAsesoris
f. Permainan (Games)
g. Film
h.  Komputer
2.      Strategi Pemasaran dengan dan Memperhatikan Budaya
Beberapa strategi pemasaran bisa dilakukan dengan pemahaman budaya suatau masyarakat, pemasar  dapat merencanakan strategi pemasaran pada penciptaan produk, segmentasi dan promosi. Pemahaman tentang budaya suatu masyarakat dan bangsa akan memberikan inspirasi mengenai produk yang dibutuhkan oleh konsumen.
Contohnya pada masyarakat indonesia telah mempercayai perawatan kecantikan, menjaga kebugaran tubuh dan menyembuhkan berbagai penyakit menggunakan tumbuh-tumbuhan , kewirausahaan pun memanfaatkan pengetahuan budaya tersebut untuk membuat produk tradisional seperti jamu. Produsen jamu Nyonya Meneer memiliki 3000 karyawan dan mendistribusikan produknya keseluruh propinsi di indonesia bahkan mengekspor ke jiran malaysia. 
a.   Penciptaan Ragam Poduk
Beragamnya budaya dalam berbagai masyarakat bagi pemasar seharusnya menjadi peluang sangat baik. Dalam suatau budaya tertentu, banyak sekali ritual-ritual budaya yang membutuhkan barang-barang yang dijadikan sebagai symbol tertentu.
b.   Segmentasi Pasar
Ritual budaya yang dijalankan masyarakat dapat merupakan suatu segmen pasar tersendiri. misalnya, ritual mudik lebaran dapat dijadikan satu segmen pasar “pasar mudik lebaran”.
c.  Promosi
setelah segmentasi dilakukan, strategi promosi dapat difokuskan segmen sasaran saja agar efektif dan efisien. pemahaman budaya bisa dijadikan dasar untuk memposisikan produk melalui iklan, Iklan dirancang sehingga mempisisikan produk untuk ritual budaya-budaya.
Konsumerisme di Indonesia ini telah banyak melanda semua level dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah apabila suatu barang yang lagi up to date maka orang akan membeli tanpa peduli apakah ia membutuhkan atau tidak, contoh lainnya adalah kegiatan nge-mall, clubbing, fitness, nge-wine, hang out di cafe adalah contoh gaya hidup yang nampak menonjol saat ini. Semua aktifitas tersebut adalah perwujudan dari hingar bingar konsumsi.

B.       MODAL SOSIAL
1.      Definisi
Modal sosial adalah bagian-bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Modal sosial juga didefinisikan sebagai kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Selain itu, konsep ini juga diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama.
Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma      informal yang dimilki   bersama diantara   para   anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara    mereka   (Francis   Fukuyama,   2002:   xii).
2.      Sejarah
Istilah modal sosial pertama kali muncul pada tulisan L.J Hanifan (1916) dalam konteks peningkatan kondisi hidup masyarakat melalui keterlibatan masyarakat, niat baik serta atribut-atribut sosial lain dalam bertetangga. Dalam karya tersebut, muncul ciri utama dari modal sosial yakni membawa manfaat internal dan eksternal. Setelah karya Hanifan, The Rural School of Community Center, istilah modal sosial tidak muncul dalam literatur ilmiah selama beberapa dekade. Pada tahun 1956, sekelompok ahli sosiologi perkotaan Kanada menggunakannya dan diperkuat dengan kemunculan teori pertukaran George C.Homans pada tahun 1961.Pada era ini, istilah modal sosial muncul pada pembahasan mengenai ikatan-ikatan komunitas. Penelitian yang dilakukan James S. Coleman (1988) di bidang pendidikan dan Robert Putnam (1993) mengenai partisipasi dan performa institusi telah menginspirasi banyak kajian mengenai modal sosial saat ini.
3.      Unsur-unsur Modal Sosial
Menurut Hasbullah unsur-unsur modal sosial (2006) :
1. Participation in a network (Jaringan Sosial). Kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok atau anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok.
2. Reciprocity (Timbal Balik).  Kecenderungan saling  tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran terjadi dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek tanpa mengharapkan imbalan.  Pada masyarakat dan kelompok-kelompok sosial yang terbentuk yang memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi.
3. Trust (Kepercayaan). Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993).  Tindakan kolektif yang didasari saling percaya akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk dan dimensi terutama dalam konteks kemajuan bersama. Hal ini memungkinkanmasyarakat untuk bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
4. Social norms.  Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis  tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika melanggar. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu karena merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi perkembangan masyarakat.  Oleh karenanya norma sosial disebut sebagai salah satu modal sosial.
5. Values.  Sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk pola cultural.
6.  Proactive action.  Keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan  anggota kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat.  Anggota kelompok melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya hubungan-hubungan sosial dan menguntungkan kelompok. Perilaku inisiatif dalam mencari informasi berbagai pengalaman, memperkaya ide, pengetahuan, dan beragam bentuk inisiatif lainnya baik oleh individu mapun kelompok, merupakan wujud modal sosial yang berguna dalam membangun masyarakat.
4.      Peran Modal Sosial Dalam Pembangunan
Perkembangan paradigma dan teori pembangunan telah mengalami perubahan
sejak 30 tahun lalu. Perubahan ini dipicu oleh ketidakpuasan pada perkembangan pembangunan di banyak negara berkembang dan negara miskin di benua Asia dan Afrika. Paradigma pembangunan yang ada sebelumnya telah menjerumuskan negara-negara tersebut dalam kemiskinan akibat lemahnya kontrol negara terhadap pengaruh dan intervensi negara asing dalam bidang perekonomian, perdagangan, industri, budaya,dan politik, yang berimbas pada lemahnya kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah yang berpihak pada kepentingan masyarakat.
Perubahan paradigma yang terjadi kemudian, banyak negara belum juga berdampak positif bagi masyarakat. Upaya penanggulangan kemiskinan dan upaya membebaskan bangsa dari keterbelakangan senantiasa tidak menghasilkan sesuatu yang optimal. Hal ini erat kaitannya dengan tidak dimasukkannya modal sosial sebagai faktor penting dalam mempengaruhi efisiensi dan efektivitas kebijakan. Kenyataan ini menumbuhkan kesadaran akan pentingnya dimensi kultural dan pendayagunaan peran lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses-proses pembangunan. Fukuyama (2002) misalnya menyebutkan faktor kultural, khususnya modal sosial menempati posisi yang sangat penting  sebagai faktor yang menentukan kualitas masyarakat. 
1.      Modal Sosial dan Pembangunan Manusia
Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu tentang banyaknya peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial mempunyai pengaruh yang besar sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuan untuk menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama, mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Hal ini terbangun oleh adanya rasa saling mempercayai, kohesifitas, tindakan proaktif, dan hubungan internal-eksternal dalam membangun jaringan sosial didukung oleh semangat kebajikan untuk saling menguntungkan sebagai refleksi kekuatan masyarakat. Situasi ini akan memperbesar kemungkinan percepatan perkembangan individu dan kelompok dalam masyarakat tersebut. Bagaimanapun juga kualitas individu akan mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat itu berarti pembangunan manusia paralel dengan pembangunan sosial. 
2.      Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Modal sosial sangat tinggi pegaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan
berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (2002) menunjukkan hasil-hasil studi di berbagai negara yang menunjukkan bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di Asia Timur sebagai pengaruh pola perdagangan  dan perekonomian yang dijalankan pelaku ekonomi Cina dalam menjalankan usahanya memiliki tingkat kohesifitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh koneksi-koneksi kekeluargaan dan kesukuan, meskipun demikian pola ini mendorong pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun melewati batas-batas keluarga, suku, agama, dan negara.
Budaya gotong-royong, tolong menolong, saling mengingatkan antar individu dalam entitas masyarakat desa merefleksikan semangat saling memberi (reciprocity), saling percaya (trust), dan adanya jaringan-jaringan sosial (sosial networking). Hal ini membangun kekompakan pada masyarakat desa untuk bersama-sama dalam memulai bercocok tanam bersama-sama untuk menghindari hama, membentuk kelompok tani untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan dan mencari solusi bersama dalam rangka meningkatkan perekonomian pertanian. Pembangunan industri pada masyarakat dengan modal sosial tinggi akan cepat berkembang karena modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan menumbuhkembangkan dunia usaha. Investor asing akan tertarik untuk menanamkan modal usaha pada masyarakat yang menjunjung nilai kejujuran, kepercayaan, terbuka dan memiliki tingkat empati yang tinggi. Modal sosial, berpengaruh kuat pada perkembangan sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, jasa, konstruksi, pariwisata dan lainnya.
5.      Manfaat Modal Sosial
1.      Manfaat pada Masyarakat
Kepercayaan (Trust) menjadi pengikat masyarakat. Pada masyarakat yang “low-trust” ikatan kelembagaan/instusi diikat oleh keanggotaan dalam keluarga. Karena dalam ikatan keluarga trust tifak perlu dipermasalahkan. Anggota keluarga adalah bagian dari diri sendiri. Selain itu pada kelompok pada multi etnik, kepercayaan antar anggota etnik yang sama lebih mudah berkembang dari pada antar etnik. Fukuyama berpendapat bahwa trust berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi.
Putman (1993) menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi sangat berkorelasi dengan kehadiran modal sosial. Pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat akan baik apabila ciri-ciri berikut ini dimiliki oleh masyarkat :
            1). Hadirnya hubungan yang erat antar anggota masyarakat
2). Adanya para pemimpin yang jujur dan egaliter yang memperlakukan dirinya sebagai bagian dari masyarakat bukan sebagai penguasa.
            3). Adanya rasa saling percaya dan kerjasama di antara unsur masyarakat.
Putman menemukan dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan di wilayah utara Italia berkorelasi dengan kehadiran ciri-ciri diatas. Pertumbuhan ekonomi yang cepat di wilayah Asia Timur disebabkan oleh adanya kegiatan ekonomi yang bertumpu pada penumbuhan modal sosial. Kemajuan negara Cina dalam bidang ekonomi digambarkan oleh Putman (1993) sebagai akibat dari penerapan konsep ekonomi yang berdasarkan jaringan sosial, khususnya jaringan sosial bisnis antar sesama masyarakat dalam negeri  dan masyarakat Cina perantauan. Pengembangan ekonomi pedesaan (Village Economy) dalam sebuah sinergi antar satu kegitan ekonomi di suatu desa dengan desa yang lainnya telah membangkitkan pertumbuhan ekonomi negara Cina.
Apa yang dikemukakan para pakar diatas membuktikan kebenaran sebuah hadis Nabi Muhammad saw “Barang siapa yang membangun silaturrahmi akan Aku beri rezeki, Aku beri kesehatan dan Aku panjangkan umurnya”. Selain itu ulasan para pakar tersebut semakin membuat kita yakin akan kebenaran pepatah Jawa “Rukun agawe santosoo” (Hidup dalam kerukunan akan memberikan kesentosaan).
2.      Manfaat pada Organisasi
Modal sosial akan memungkinkan manusia berkerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang besar. Akumulasi pengetahuan akan berjalan lebih cepat memalui interaksi antar manusia yang berbagi wawasan. Akumulasi pengetahuan sebagai hasil dari interaksi sosial menjadi kekuatan organisasi karena dia bisa menciptakan berbagai inovasi.
Beberapa penelitian di luar Indonesia menemukan hal-hal yang menujukkan peranan modal sosial dalam kehidupan organisasi. Modal sosial ditemukan mempengaruhi kerjasam antar unit dan inovasi produk baru (Gabbay & Zuckerman, 1998). Angka karyawan yang meninggalkan perusahaan (turn-over) juga dipengaruhi oleh modal sosial. Semakin baik hubungan dan suasana kerja dalam perusahaan semakin betah para pekerja untuk tetap berasa di sebuah perusahaan (Krackhardt & Hanson, 1993). Selain itu dilaporkan oleh Nahapiet dan Gozal (1998) dalam penelitian mereka bahwa prasyarat untuk berkembangnya modal intelektual adalah adanya modal sosial yang berupa rasa saling percaya dan kemauan untuk berbagi wawasan dalam sebuah jaringan kerja. Pendapat serupa juga dikemukan oleh Hartanto (1998).
3.      Manfaat pada Individu
Goelman (1995) mengemukakan konsep inteligensi emosional yang komponennya banyak kesamaannya denganberbagai sifat yang mendukung terbentuknya modal sosial. Goelman berargumentasi bahwa kemajuan karir seseorang lebih ditentukan oleh angka kecerdasan emosional (EQ) dari angka kecerdasan yang bersifat kognitif (IQ). Gabbay & Zukerman (1998) juga melaporkan bahwa individu yang memiliki modal sosial yang tinggi teryata lebih maju dalam karir jika dibandingkan dengan mereka yang modal sosialnya rendah. Kompensasi yang diperoleh pekerja juga dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilkinya (Burt 1997). Demikian pula suksenya seseorang di dalam memperoleh pekerjaan huga dipegaruhi modal sosial yang dimilikinya (Lin & Dumin, 1996).
6.      Faktor yang menyuburkan Modal Sosial
              Untuk mengembangkan modal sosial, habitat yang menjadi tempat berinteraksi manusia haruslah mendukung pertumbuhannya.
·         Habitat Masyarkat
              Masyarakat yang bisa menumbuhakan modala sosial dan menghasilkan karya besar adalah masyarakat yang berorientasi “kita” bukan masyarakat yang berorientasi “kami” (Lihat Hartanto, 2002, Hasan, 2002). Masyarakat yang berorintasi “kita” akan memfokuskan perhatian dan tindakannya pada upaya peningktkan kemajuan dan kesejahtraan bersama.
7.    Upaya untuk meningkatkan Modal Sosial
              Modal sosial adalah bagian dari proses yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga bersifat afektif. Modal sosial muncul dari hasil kerjasama antar individu. Oleh karena itu pembentukan modal sosial hanya bisa dilakukan dengan efektif apabila melibatkan sejumlah orang yang berkerjasama dalam sebuah kelompok. Beberapa peneliti juga menunjukkan bahwa belajar  bersama dalam kelompok (learning group) dapat meningkatkan hasil kerja kelompok dan perasaan menyatu dalam organisasi (Cunningham, 2002).
              Salah satu bentuk pelatihan yang paling efektif adalah pembentukan kerja sma tim (team building exercise) yang dilakukan melalui pelatihan berdasrkan pengalaman di alam terbuka (Ancok, 2002). Pendidikan karakter untuk mengembangkan kemampuan individu agar bisa berinteraski dengan orang lain juga perlu dilakukan guna peningkatan modal sosial. Pelatihan intelegensia emosional, dan pelatihan untuk membangun kebiasaan positif (Covey, 1990). Modal sosial dapat pula ditingkatkan dengan upaya silaturrhmi. Penunjang kelahiran modal sosial ini sangat ditentukan oleh pendidikan di sekolah dan pendidikan dalam keluarga.
8.    Sisi negatif Modal Sosial
             Modal sosial akan menjadi bencana apabila dimiliki oleh kelompok manusia yang tidak bermoral. Kelompok gengster mfia adalah kumpulan oran-orang yang memiliki modal sosial yang tinggi. Solidaritas dan kerjasama yang intens dapat digunakan ke arah yang buruk. Oleh karena itu setiap usaha pengembangan modal sosial harus didasari oleh semangat spiritual dan etika yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Gargiulo & Bernassi (1999) menunjukkan bahwa solidaritas yang kuat di dalam sebuah kelompok menimbulkan sikap diskriminatif pada kelompok lain.
DAFTAR PUSTAKA

AncokI, Djamaludin, Ph.D:2003:Modal sosial dan Kualitas Masyarakat, Yogyakarta
Rukmana Marhaban/pengaruh budaya dan subbudaya terhadap perilaku konsumen.htm
file:///G:/Konsumerisme, Budaya atau Gejala_SweetBucks.htm
                 Alfitri: 2007, Budaya Konsumerime Masyarakat Perkotan, : Majalah Empirika.