A.
KONSUMERISME dan BUDAYA KONSUMEN
1.
Definisi
Konsumerisme
awalnya dari kata
konsumtivisme yang menurut Featherstone , Mike ( 2007
) adalah faham untuk hidup konsumtif. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer
(Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi
publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang
berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini
adalah pemakaian barang dan jasa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
konsumerisme adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah)
sebagai ukuran kesenangan, kebahagian, gaya hidup yang tidak hemat dan juga di
artikan sebagai gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata
metode dan standar kerja produsen, penjaul, dan pengiklan.
2.
Sejarah
Beberapa disiplin ilmu telah menganalisa konsumerisme dan masyarakat
konsumen. Topik ini bahkan menjadi
fokus
perhatian dalam studi sosiaologi sejak tahun 1980an. Terdapat perdebatan yang
luas menyangkut munculnya masyarakat konsumen.
Beberapa ilmuwan menyebut beberapa poin tertentu yang berkaitan dengan
munculnya kapitalisme modern seiring dengan revolusi industri. Asal mula konsumerisme
dikaitkan dengan proses industrialisasi pada awal abad ke-19. Karl Marx
menganalisa buruh dan kondisi-kondisi material dari proses produksi.
Menurutnya, kesadaran manusia ditentukan oleh kepemilikan alat-alat produksi.
Prioritas ditentukan oleh produksi sehingga aspek lain dalam hubungan antar
manusia dengan kesadaran, kebudayaan dan politik dikatakan dikonstruksikan oleh
relasi ekonomi.
Kapitalisme yang
dikemukakan Marx adalah suatu cara produksi yang dipremiskan oleh
kepemilikan pribadi sarana produksi. Kapitalisme bertujuan untuk meraih
keuntungan sebesar-besarnya dan dia melakukannya dengan mengisap nilai surplus
dari pekerja. Tujuan kapitalisme adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya, terutama
dengan mengeksploitasi pekerja. Realisasi nilai surplus dalam bentuk uang
diperoleh dengan menjual produk sebagai komoditas.
Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan
komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana objek,
kualitas dan tanda berubah menjadi komoditas.
Kapitalisme adalah
suatu sistem dinamis dimana mekanisme yang didorong oleh laba mengarah pada
revolusi yang terus berlanjut atas sarana produksi dan pembentukan pasar baru. Ada indikasi
ekspansi besar-besaran dalam kapasitas produksi kaum kapitalis. Pembagian kelas
yang mendasar dalam kapitalisme adalah antara mereka yang menguasai sarana
produksi, yaitu kelas borjuis, dengan mereka yang karena menjadi kelas proletar tanpa menguasai hak milik, harus menjual
tenaga untuk bertahan hidup.
Horkheimer
dan Adorno mengemukakan bahwa logika komoditas dan perwujudan rasionalitas
instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam lingkup konsumsi. Pencarian waktu
bersenang-senang, seni dan budaya tersalur melalui industri budaya. Resepsi tentang
realitas diarahkan oleh nilai tukar (exchange value) karena nilai budaya yang
mengalahkan logika proses produksi dan rasionalitas pasar. Selain itu juga
terjadi standarisasi produk-produk budaya untuk memaksimalkan konsumsi.
3.
Konsumerisme tentunya memiliki
pengaruh positif dan negatif.
Pengaruh positif yang dapat dikemukakan
adalah:
1. Konsumerisme
dapat meningkatkan dinamika dalam masyarakat. Dinamika dalam masyarakat
dibutuhkan dalam upaya menuju perkembangan masyarakat. Memang tidak selamanya
dinamika mengarah kepada hal yang positif (perkembangan), tetapi masyarakat
yang dinamis menyimpan potensi semangat untuk melakukan perubahan.
2.
Konsumerisme didukung dengan berbagai kemudahan yang ditunjukkan. Salah satunya
adalah barang-barang yang serba unik, baru dan melimpah. Harga pasar yang
terjangkau dan persaingan yang ketat. Dalam level praktis, konsumerisme selalu
didukung dengan kemudahan pasar. Inilah yang mengakibatkan banyak kalangan
melakukannya, bahkan, meskipun tidak menyadarinya.
Selain
sisi positif yang tentunya dicari dengan kepayahan, beberapa sisi negatif
dengan mudah dapat ditemukan:
1. Konsumerisme
menuntun masyarakat pada alienasi atau proses pengasingan dari diri dan
keinginannya (bahkan rasionalitasnya). Masyarakat dijadikan proyek produksi
yang diiming-imingi sesuatu dan diarahkan pada sesuatu. Masyarakat dibentuk dan
dapat kehilangan kesadarannya (consiousness-nya). Ini dapat terlihat dalam pola
budaya masa. Juga pencitraan melalui media massa.
2. Konsumerisme
dapat melanggengkan ketidakadilan. Proses produksi dapat dengan mudah menindas
kaum yang kecil dan keadilan tidak seimbang. Meskipun budaya massa dapat
berarti menyeragaman, tetapi dilihat dari keseimbangan pendapatan dan kekayaan
maka akan nampak semakin tidak seimbang. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin miskin dan terbodohi
3. Konsumerisme
meningkatkan konsumsi dan membahayakan keseimbangan alam. Dengan pola produksi
dan konsumsi yang berlebihan, beban bumi dalam menyeimbangkan alam menjadi
semakin berat. Mari kita lihat limbah produksi, limbah hasil produksi disertai
ketidakmauan berpikir untuk melakukan daur ulang. Hal ini dapat membahayakan
bumi.
4. Konsumerisme
dapat meningkatkan kriminalitas. Hal ini disebabkan karena meningkatnya keinginan
dan kebutuhan, tanpa diimbangi dengan meningkatnya daya beli masyarakat.
Meskipun ini adalah sisi negatif tidak langsung, tetapi hal ini harus
diwaspadai.
4.
Budaya Konsumen
Budaya mengacu pada seperangkat nilai,
gagasan, artefak dan simbol yang mempunyai makna, yang membantu individu
berkomunikasi, memberikan tafsiran serta melakukan evaluasi. Budaya tidak hanya
bersifat naluriah saja, namun budaya memberikan dampak pada perilaku yang dapat
diterima didalam masyarakat.
Tiga perspektif utama budaya konsumen
diungkapkan oleh Featherstone (2005). Pertama,
pandangan bahwa budaya konsumen dipremiskan dengan ekspansi produksi komoditas
kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk
barang-barang konsumen dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Hal ini
mengakinatkan tumbuhnya kepentingan aktivitas bersenag-senang dan konsumsi
dalam masyarakat Barat Kontemporer. Kedua,
pandangan yang lebih sosiologis, bahwa kepuasan berasal dari benda-benda
berhubungan dengan akses benda-benda yang terstruktur secara sosial dalam suatu
peristiwa yang telah ditentukan di dalamnya kepusan dan status tergantung pada
penunjukan dan pemeliharaan perbedaan dalam kondisi inflsi. Ketiga, masalah kesenagan emosional
untuk konsumsi, mimpi-mimpi dan keinginan yang ditampakkan dalam bentuk tamsil
budaya konsumen dan tempat-tempat konsumsi tertentu yang secara beragam
memunculkan kenikmatan jasmaniah langsung serta kesenagan estetis.
Semakin tumbuh suburnya budaya konsumen
dan tidak sekedar memandang konsumsi sebagai sesuatu yang berasal dari produksi
tanpa mengakibatkan adanya probelamatika (Featherstone, 2005), namun lebih jauh
dari itu budaya konsumen juga mempengaruhi perilaku seseorang untuk memutuskan
pembelian produk suatu barang, yang tentunya dikendalikan oleh kekuatan media
massa, seprti iklan.Periklanan secara khusus mampu megeksploitasi kondisi ini
dan memberikan imge-image percintaan,
eksotika, nafsu, kecantikan, pemenuhan kebutuhan, komunalitas, serta kehidupan
yang baik untuk menyebarkan benda-benda konsumen seprti sabun dan lainnya
(Featherstone, 2005). Budaya konsumen akan mendorong orang untuk
Berkaitan dengan perilaku konsumen dapat
dikarakteristikan beberapa ciri kelas sosial seperti yang diungkapkan Sukmana
(2005) :
1.
Kelas sosial
atas (memiliki kecendrungan membeli barang-barang yang mahal, barang-barang
yang dibeli cendrung untuk dapat menjadi warisan bagi keluarganya)
2.
Kelas sosial
golongan menegah (cendrung membeli barang untuk menampakkan kekayaan, membeli
barang dengan jumlah yang banyak dan kualitasnya cukup memadai.
3.
Kelas sosial
golongan rendah (cendrung membeli barang dengan mementingkan kuantitas dari
pada kualitasnya. Pada umunya mereka membeli barang untuk kebutuhan
sehari-hari, memanfaatkan penjualan barang-barang yang diobral atau penjualan
dengan harga promosi.
5.
Pengaruh
Budaya Terhadap Perilaku Konsumen
Produk dan jasa memainkan peranan yang sangat penting
dalam mempengaruhi budaya, karena produk mampu membawa pesan makna budaya.
Makna budaya akan dipindahkan ke produk dan jasa, dan produk kemudian
dipindahkan ke konsumen dalam bentuk pemilikan produk (possession ritual),
pertukaran (exchange ritual), pemakaian (grooming ritual), dan pembuangan
(divestment ritual).
1. Budaya Populer
Mowen dan Minor (1998) mengartikan
budaya populer sebagai budaya masyarakat banyak yang mudah dipahami dan tidak
memerlukan pengetahuan khusus.
a. Iklan
b. Televisi
c. Musik
d. Radio
e. Pakaian
danAsesoris
f. Permainan
(Games)
g. Film
h. Komputer
2. Strategi Pemasaran dengan dan
Memperhatikan Budaya
Beberapa strategi pemasaran
bisa dilakukan dengan pemahaman budaya suatau masyarakat, pemasar dapat merencanakan strategi pemasaran pada
penciptaan produk, segmentasi dan promosi. Pemahaman tentang budaya suatu masyarakat
dan bangsa akan memberikan inspirasi mengenai produk yang dibutuhkan oleh
konsumen.
Contohnya pada masyarakat indonesia telah mempercayai perawatan kecantikan,
menjaga kebugaran tubuh dan menyembuhkan berbagai penyakit menggunakan
tumbuh-tumbuhan , kewirausahaan pun memanfaatkan pengetahuan budaya tersebut
untuk membuat produk tradisional seperti jamu. Produsen jamu Nyonya Meneer
memiliki 3000 karyawan dan mendistribusikan produknya keseluruh propinsi di
indonesia bahkan mengekspor ke jiran malaysia.
a. Penciptaan Ragam Poduk
Beragamnya
budaya dalam berbagai masyarakat bagi pemasar seharusnya menjadi peluang sangat
baik. Dalam suatau budaya tertentu, banyak sekali ritual-ritual budaya yang
membutuhkan barang-barang yang dijadikan sebagai symbol tertentu.
b. Segmentasi Pasar
Ritual
budaya yang dijalankan masyarakat dapat merupakan suatu segmen pasar tersendiri. misalnya, ritual mudik lebaran dapat dijadikan satu segmen
pasar “pasar mudik lebaran”.
c. Promosi
setelah
segmentasi dilakukan, strategi promosi dapat difokuskan segmen sasaran saja
agar efektif dan efisien. pemahaman budaya bisa dijadikan dasar untuk
memposisikan produk melalui iklan, Iklan dirancang sehingga mempisisikan produk
untuk ritual budaya-budaya.
Konsumerisme
di Indonesia ini telah banyak melanda semua level dalam masyarakat. Sebagai
contoh adalah apabila suatu barang yang lagi up to date maka orang akan membeli tanpa peduli apakah ia
membutuhkan atau tidak, contoh lainnya adalah kegiatan nge-mall, clubbing, fitness, nge-wine, hang out di cafe adalah contoh gaya hidup
yang nampak menonjol saat ini. Semua aktifitas tersebut adalah perwujudan dari hingar
bingar konsumsi.
B. MODAL SOSIAL
1.
Definisi
Modal sosial adalah bagian-bagian dari organisasi
sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan
yang dapat
meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi.
Modal sosial juga didefinisikan sebagai kapabilitas yang muncul dari
kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari
masyarakat tersebut. Selain itu, konsep ini juga diartikan sebagai serangkaian
nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu
kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama.
Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai
dan norma informal yang dimilki bersama diantara para
anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama
diantara mereka (Francis
Fukuyama, 2002: xii).
2. Sejarah
Istilah modal sosial pertama kali muncul pada tulisan
L.J Hanifan (1916)
dalam konteks peningkatan kondisi hidup masyarakat melalui keterlibatan
masyarakat, niat baik serta atribut-atribut sosial lain dalam bertetangga.
Dalam karya tersebut, muncul ciri utama dari modal sosial yakni membawa manfaat
internal dan eksternal. Setelah karya Hanifan, The Rural School of Community
Center, istilah modal sosial tidak muncul dalam literatur ilmiah selama
beberapa dekade. Pada tahun 1956, sekelompok ahli sosiologi
perkotaan
Kanada menggunakannya dan diperkuat dengan kemunculan teori pertukaran
George C.Homans pada tahun
1961.Pada era ini, istilah modal sosial muncul pada pembahasan mengenai
ikatan-ikatan komunitas. Penelitian yang dilakukan James S. Coleman (1988) di
bidang pendidikan dan Robert Putnam (1993) mengenai partisipasi dan performa
institusi telah menginspirasi banyak kajian mengenai modal sosial saat ini.
3. Unsur-unsur
Modal Sosial
Menurut Hasbullah unsur-unsur modal sosial (2006) :
1. Participation in a network (Jaringan Sosial). Kemampuan
sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial,
melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas
dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan
(freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok atau anggota
masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis
akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu
kelompok.
2. Reciprocity (Timbal Balik). Kecenderungan
saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar
kelompok itu sendiri. Pola pertukaran terjadi dalam suatu kombinasi jangka
panjang dan jangka pendek tanpa mengharapkan imbalan. Pada masyarakat dan
kelompok-kelompok sosial yang terbentuk yang memiliki bobot resiprositas kuat
akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang
tinggi.
3. Trust (Kepercayaan). Suatu bentuk keinginan untuk
mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan
yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan
senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Paling tidak,
yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam,
1993). Tindakan kolektif yang didasari saling percaya akan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk dan dimensi terutama dalam konteks
kemajuan bersama. Hal ini memungkinkanmasyarakat untuk bersatu dan memberikan
kontribusi pada peningkatan modal sosial.
4. Social norms. Sekumpulan aturan yang
diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial
tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak
tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam
konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika
melanggar. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu karena
merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi perkembangan
masyarakat. Oleh karenanya norma sosial disebut sebagai salah satu modal
sosial.
5. Values. Sesuatu ide yang telah turun temurun
dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan
hal yang penting dalam kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam
mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi
aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk
pola cultural.
6. Proactive
action. Keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja
berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan anggota
kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat. Anggota kelompok melibatkan
diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya hubungan-hubungan sosial dan
menguntungkan kelompok. Perilaku inisiatif dalam mencari informasi
berbagai pengalaman, memperkaya ide, pengetahuan, dan beragam bentuk inisiatif
lainnya baik oleh individu mapun kelompok, merupakan wujud modal sosial yang
berguna dalam membangun masyarakat.
4. Peran Modal
Sosial Dalam Pembangunan
Perkembangan paradigma dan teori pembangunan telah
mengalami perubahan
sejak 30
tahun lalu. Perubahan ini dipicu oleh ketidakpuasan pada perkembangan
pembangunan di banyak negara berkembang dan negara miskin di benua Asia dan
Afrika. Paradigma pembangunan yang ada sebelumnya telah menjerumuskan
negara-negara tersebut dalam kemiskinan akibat lemahnya kontrol negara terhadap
pengaruh dan intervensi negara asing dalam bidang perekonomian, perdagangan,
industri, budaya,dan politik, yang berimbas pada lemahnya kebijakan publik yang
dibuat oleh pemerintah yang berpihak pada kepentingan masyarakat.
Perubahan paradigma yang terjadi kemudian, banyak
negara belum juga berdampak positif bagi masyarakat. Upaya penanggulangan
kemiskinan dan upaya membebaskan bangsa dari keterbelakangan senantiasa tidak
menghasilkan sesuatu yang optimal. Hal ini erat kaitannya dengan tidak
dimasukkannya modal sosial sebagai faktor penting dalam mempengaruhi efisiensi
dan efektivitas kebijakan. Kenyataan ini menumbuhkan kesadaran akan pentingnya
dimensi kultural dan pendayagunaan peran lembaga-lembaga yang tumbuh dalam
masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses-proses pembangunan.
Fukuyama (2002) misalnya menyebutkan faktor kultural, khususnya modal sosial
menempati posisi yang sangat penting
sebagai faktor yang menentukan kualitas masyarakat.
1. Modal Sosial
dan Pembangunan Manusia
Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang
memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam
menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan kehidupan
rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu tentang banyaknya
peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Dalam konteks
pembangunan manusia, modal sosial mempunyai pengaruh yang besar sebab beberapa
dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal sosial antara lain
kemampuan untuk menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama,
mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran
kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Hal ini terbangun oleh adanya rasa saling
mempercayai, kohesifitas, tindakan proaktif, dan hubungan internal-eksternal
dalam membangun jaringan sosial didukung oleh semangat kebajikan untuk saling
menguntungkan sebagai refleksi kekuatan masyarakat. Situasi ini akan
memperbesar kemungkinan percepatan perkembangan individu dan kelompok dalam
masyarakat tersebut. Bagaimanapun juga kualitas individu akan mendorong
peningkatan kualitas hidup masyarakat itu berarti pembangunan manusia paralel
dengan pembangunan sosial.
2. Modal Sosial
dan Pembangunan Ekonomi
Modal sosial sangat tinggi pegaruhnya terhadap
perkembangan dan kemajuan
berbagai
sektor ekonomi. Fukuyama (2002) menunjukkan hasil-hasil studi di berbagai negara
yang menunjukkan bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan
berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan
kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi.
Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di
Asia Timur sebagai pengaruh pola perdagangan
dan perekonomian yang dijalankan pelaku ekonomi Cina dalam menjalankan
usahanya memiliki tingkat kohesifitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh
koneksi-koneksi kekeluargaan dan kesukuan, meskipun demikian pola ini mendorong
pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun melewati
batas-batas keluarga, suku, agama, dan negara.
Budaya gotong-royong, tolong menolong, saling
mengingatkan antar individu dalam entitas masyarakat desa merefleksikan
semangat saling memberi (reciprocity), saling percaya (trust), dan adanya
jaringan-jaringan sosial (sosial networking). Hal ini membangun kekompakan pada
masyarakat desa untuk bersama-sama dalam memulai bercocok tanam bersama-sama
untuk menghindari hama, membentuk kelompok tani untuk bersama-sama
menyelesaikan permasalahan dan mencari solusi bersama dalam rangka meningkatkan
perekonomian pertanian. Pembangunan industri pada masyarakat dengan modal
sosial tinggi akan cepat berkembang karena modal sosial akan menghasilkan
energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan
di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan menumbuhkembangkan dunia usaha.
Investor asing akan tertarik untuk menanamkan modal usaha pada masyarakat yang
menjunjung nilai kejujuran, kepercayaan, terbuka dan memiliki tingkat empati
yang tinggi. Modal sosial, berpengaruh kuat pada perkembangan sektor ekonomi
lainnya seperti perdagangan, jasa, konstruksi, pariwisata dan lainnya.
5. Manfaat
Modal Sosial
1. Manfaat pada
Masyarakat
Kepercayaan (Trust) menjadi pengikat masyarakat. Pada
masyarakat yang “low-trust” ikatan kelembagaan/instusi diikat oleh keanggotaan
dalam keluarga. Karena dalam ikatan keluarga trust tifak perlu dipermasalahkan.
Anggota keluarga adalah bagian dari diri sendiri. Selain itu pada kelompok pada
multi etnik, kepercayaan antar anggota etnik yang sama lebih mudah berkembang
dari pada antar etnik. Fukuyama berpendapat bahwa trust berkorelasi dengan
pertumbuhan ekonomi.
Putman (1993) menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi sangat
berkorelasi dengan kehadiran modal sosial. Pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat
akan baik apabila ciri-ciri berikut ini dimiliki oleh masyarkat :
1).
Hadirnya hubungan yang erat antar anggota masyarakat
2). Adanya para pemimpin yang jujur
dan egaliter yang memperlakukan dirinya sebagai bagian dari masyarakat bukan
sebagai penguasa.
3).
Adanya rasa saling percaya dan kerjasama di antara unsur masyarakat.
Putman menemukan dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan ekonomi di berbagai
kawasan di wilayah utara Italia berkorelasi dengan kehadiran ciri-ciri diatas. Pertumbuhan
ekonomi yang cepat di wilayah Asia Timur disebabkan oleh adanya kegiatan
ekonomi yang bertumpu pada penumbuhan modal sosial. Kemajuan negara Cina dalam
bidang ekonomi digambarkan oleh Putman (1993) sebagai akibat dari penerapan
konsep ekonomi yang berdasarkan jaringan sosial, khususnya jaringan sosial
bisnis antar sesama masyarakat dalam negeri
dan masyarakat Cina perantauan. Pengembangan ekonomi pedesaan (Village
Economy) dalam sebuah sinergi antar satu kegitan ekonomi di suatu desa dengan
desa yang lainnya telah membangkitkan pertumbuhan ekonomi negara Cina.
Apa yang dikemukakan para pakar diatas membuktikan
kebenaran sebuah hadis Nabi Muhammad saw “Barang siapa yang membangun
silaturrahmi akan Aku beri rezeki, Aku beri kesehatan dan Aku panjangkan
umurnya”. Selain itu ulasan para pakar tersebut semakin membuat kita yakin akan
kebenaran pepatah Jawa “Rukun agawe santosoo” (Hidup dalam kerukunan akan
memberikan kesentosaan).
2. Manfaat pada
Organisasi
Modal sosial akan memungkinkan manusia berkerjasama
untuk menghasilkan sesuatu yang besar. Akumulasi pengetahuan akan berjalan
lebih cepat memalui interaksi antar manusia yang berbagi wawasan. Akumulasi
pengetahuan sebagai hasil dari interaksi sosial menjadi kekuatan organisasi
karena dia bisa menciptakan berbagai inovasi.
Beberapa penelitian di luar Indonesia menemukan
hal-hal yang menujukkan peranan modal sosial dalam kehidupan organisasi. Modal
sosial ditemukan mempengaruhi kerjasam antar unit dan inovasi produk baru
(Gabbay & Zuckerman, 1998). Angka karyawan yang meninggalkan perusahaan
(turn-over) juga dipengaruhi oleh modal sosial. Semakin baik hubungan dan
suasana kerja dalam perusahaan semakin betah para pekerja untuk tetap berasa di
sebuah perusahaan (Krackhardt & Hanson, 1993). Selain itu dilaporkan oleh
Nahapiet dan Gozal (1998) dalam penelitian mereka bahwa prasyarat untuk
berkembangnya modal intelektual adalah adanya modal sosial yang berupa rasa
saling percaya dan kemauan untuk berbagi wawasan dalam sebuah jaringan kerja.
Pendapat serupa juga dikemukan oleh Hartanto (1998).
3. Manfaat pada
Individu
Goelman (1995) mengemukakan konsep inteligensi
emosional yang komponennya banyak kesamaannya denganberbagai sifat yang
mendukung terbentuknya modal sosial. Goelman berargumentasi bahwa kemajuan
karir seseorang lebih ditentukan oleh angka kecerdasan emosional (EQ) dari
angka kecerdasan yang bersifat kognitif (IQ). Gabbay & Zukerman (1998) juga
melaporkan bahwa individu yang memiliki modal sosial yang tinggi teryata lebih
maju dalam karir jika dibandingkan dengan mereka yang modal sosialnya rendah.
Kompensasi yang diperoleh pekerja juga dipengaruhi oleh modal sosial yang
dimilkinya (Burt 1997). Demikian pula suksenya seseorang di dalam memperoleh
pekerjaan huga dipegaruhi modal sosial yang dimilikinya (Lin & Dumin,
1996).
6.
Faktor yang menyuburkan Modal Sosial
Untuk
mengembangkan modal sosial, habitat yang menjadi tempat berinteraksi manusia
haruslah mendukung pertumbuhannya.
·
Habitat Masyarkat
Masyarakat yang
bisa menumbuhakan modala sosial dan menghasilkan karya besar adalah masyarakat
yang berorientasi “kita” bukan masyarakat yang berorientasi “kami” (Lihat
Hartanto, 2002, Hasan, 2002). Masyarakat yang berorintasi “kita” akan
memfokuskan perhatian dan tindakannya pada upaya peningktkan kemajuan dan
kesejahtraan bersama.
7.
Upaya untuk meningkatkan Modal Sosial
Modal sosial adalah bagian dari proses yang tidak hanya
bersifat kognitif, tetapi juga bersifat afektif. Modal sosial muncul dari hasil
kerjasama antar individu. Oleh karena itu pembentukan modal sosial hanya bisa
dilakukan dengan efektif apabila melibatkan sejumlah orang yang berkerjasama
dalam sebuah kelompok. Beberapa peneliti juga menunjukkan bahwa belajar bersama dalam kelompok (learning group) dapat
meningkatkan hasil kerja kelompok dan perasaan menyatu dalam organisasi
(Cunningham, 2002).
Salah satu bentuk pelatihan yang paling efektif adalah
pembentukan kerja sma tim (team building exercise) yang dilakukan melalui
pelatihan berdasrkan pengalaman di alam terbuka (Ancok, 2002). Pendidikan
karakter untuk mengembangkan kemampuan individu agar bisa berinteraski dengan
orang lain juga perlu dilakukan guna peningkatan modal sosial. Pelatihan intelegensia
emosional, dan pelatihan untuk membangun kebiasaan positif (Covey, 1990). Modal
sosial dapat pula ditingkatkan dengan upaya silaturrhmi. Penunjang kelahiran
modal sosial ini sangat ditentukan oleh pendidikan di sekolah dan pendidikan
dalam keluarga.
8.
Sisi negatif Modal Sosial
Modal
sosial akan menjadi bencana apabila dimiliki oleh kelompok manusia yang tidak
bermoral. Kelompok gengster mfia adalah kumpulan oran-orang yang memiliki modal
sosial yang tinggi. Solidaritas dan kerjasama yang intens dapat digunakan ke
arah yang buruk. Oleh karena itu setiap usaha pengembangan modal sosial harus
didasari oleh semangat spiritual dan etika yang tinggi. Penelitian yang
dilakukan oleh Gargiulo & Bernassi (1999) menunjukkan bahwa solidaritas
yang kuat di dalam sebuah kelompok menimbulkan sikap diskriminatif pada
kelompok lain.
DAFTAR PUSTAKA
AncokI, Djamaludin,
Ph.D:2003:Modal sosial dan Kualitas
Masyarakat, Yogyakarta
Rukmana Marhaban/pengaruh budaya dan subbudaya terhadap perilaku konsumen.htm
file:///G:/Konsumerisme,
Budaya atau Gejala_SweetBucks.htm
Alfitri:
2007, Budaya Konsumerime Masyarakat
Perkotan, : Majalah Empirika.